Ditengah derasnya arus relativisme yang melanda dunia, generasi muda kini hidup dalam zaman di mana batas antara benar dan salah kian kabur. Apa yang dulu dianggap sebagai nilai moral yang kokoh, kini sering dipertanyakan, bahkan ditinggalkan. Nasihat orang tua yang dahulu menjadi pedoman hidup, kini dianggap sebagai warisan yang harus ditinjau ulang, seolah semua hal bersifat relatif dan bisa dinegosiasikan.
Kenyataannya, perilaku yang dulunya dianggap keliru, kini mulai diterima sebagai bagian dari gaya hidup modern. Kebebasan menjadi alasan pembenar untuk mengabaikan nilai, dan suara hati pun sering dikalahkan oleh gemuruh opini publik dan tekanan lingkungan.
Namun, justru di tengah badai inilah, hati nurani menjadi kompas yang paling dibutuhkan. Nurani sebagai suara batin yang jujur bisa menuntun manusia untuk mengenali mana yang benar dan mana yang menyimpang, tak peduli seberapa besar tekanan dari luar. Mendengarkan nurani berarti kembali pada keheningan, pada kejujuran diri sendiri, dan pada kesadaran akan nilai-nilai yang melampaui tren sementara.
Generasi muda perlu belajar kembali untuk hening di tengah kebisingan, untuk berani mempertanyakan bukan hanya apa yang populer, tapi juga apa yang benar. Karena di saat semua terasa relatif, suara nurani adalah satu-satunya sumber kebenaran yang tak bisa dibeli, dikendalikan, atau dipengaruhi.
Kini saatnya generasi muda bukan hanya mengikuti arus, tetapi menjadi pelita. Dengan mendengarkan nurani, mereka tak hanya menemukan arah hidup, tapi juga menjadi penuntun bagi sesama dalam dunia yang kehilangan pegangan. (H.A.S)
0 Komentar