Di setiap ruang legislatif, kursi yang dihuni oleh wakil rakyat bukan hanya sekadar tempat duduk atau simbol kekuasaan politik. Sebaliknya, kursi tersebut adalah amanah besar yang datang dari harapan rakyat. Rakyat memilih mereka dengan keyakinan bahwa mereka akan menjadi jembatan penghubung antara kebijakan yang dibuat dan kebutuhan masyarakat yang mendalam. Akan tetapi, realitas politik terkadang jauh berbeda dengan harapan tersebut. Fenomena di mana wakil rakyat yang seharusnya menjadi perwakilan aspirasi masyarakat malah lebih sibuk memikirkan pengembalian modal politik mereka adalah ironi yang kita saksikan hari ini.
Pemilihan wakil rakyat yang sering kali dilatarbelakangi
oleh politik transaksional, di mana suara rakyat dijadikan komoditas demi
kepentingan tertentu, pada akhirnya menuntun kita pada dilema. Masyarakat yang
memilih dengan harapan perubahan, sering kali terjebak pada pilihan yang salah,
terpengaruh oleh janji-janji yang tidak bisa dipenuhi. Namun, apakah ini
berarti rakyatlah yang harus disalahkan? Tentunya tidak. Karena, dalam politik,
rakyat memiliki hak untuk memilih, tetapi mereka tidak memiliki kendali penuh
atas kualitas dan integritas calon yang muncul.
Namun, pada akhirnya, yang paling bertanggung jawab atas
absennya perbaikan bagi rakyat adalah wakil rakyat itu sendiri. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, mereka seharusnya tidak hanya berorientasi
pada pencapaian pribadi atau kelompok, tetapi harus fokus pada kepentingan
masyarakat luas. Wakil rakyat memiliki tiga fungsi fundamental yang tidak bisa
dianggap enteng. Pertama, sebagai pembuat undang-undang yang seharusnya
mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan golongan. Kedua, sebagai pengawas
terhadap pelaksanaan kebijakan eksekutif agar regulasi yang ada bisa diterapkan
dengan tepat sasaran. Dan yang ketiga, sebagai jembatan bagi aspirasi rakyat,
menyuarakan kebutuhan mereka dengan lantang dan jelas, bukan sekadar untuk
kepentingan politik jangka pendek.
Dalam prakteknya, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat
seharusnya tidak ada jarak. Seharusnya ada dialog yang berkelanjutan, bukan
hanya saat pemilu atau ketika terjadi bencana politik. Wakil rakyat harus turun
ke bawah, melihat langsung apa yang terjadi, mendengarkan keluhan dan harapan
rakyat tanpa merasa terjebak dalam rutinitas politik yang hanya berputar di
sekitar kantor-kantor pemerintahan.
Kesenjangan sosial yang semakin lebar dan ketimpangan
ekonomi yang dirasakan oleh banyak masyarakat kita adalah akibat dari kegagalan
ini. Ketika wakil rakyat lebih fokus pada agenda pribadi atau kelompoknya
daripada mendengarkan penderitaan rakyat, kerugian yang timbul bukan hanya
dirasakan oleh segelintir orang, tetapi oleh seluruh bangsa. Karena setiap
ketimpangan yang ada akan merembet menjadi masalah yang lebih besar:
ketidakpercayaan pada lembaga negara, maraknya politik identitas, serta rasa
ketidakadilan yang semakin mengakar.
Akan tetapi, kita tak bisa hanya menyalahkan sistem yang
ada. Perubahan ini harus datang dari keduanya. Wakil rakyat yang harus kembali
pada khittah perjuangannya sebagai pelayan rakyat, dan rakyat yang harus lebih
bijak dalam memilih pemimpin mereka. Pendidikan politik yang lebih baik bagi
masyarakat menjadi sangat penting agar mereka tidak hanya memilih berdasarkan
janji kosong atau iming-iming semu, tetapi berdasarkan rekam jejak dan komitmen
calon terhadap perubahan yang lebih baik.
Bila kita ingin melihat negara ini maju, wakil rakyat harus kembali pada akar fungsinya menjadi penghubung antara rakyat dan negara. Mereka harus berani menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka bukan hanya pemimpin di atas kertas, tetapi juga penjaga amanah rakyat yang mendalam. Hanya dengan mengemban tugas ini dengan serius dan penuh tanggung jawab, kesejahteraan yang sejati bagi bangsa ini dapat tercapai. Dan hanya dengan itu, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat akan kembali terjalin dengan erat, tanpa sekat dan tanpa jarak. (H.A.S)
0 Komentar