Memaksimalkan Peran Pemulung dalam Pengelolaan Sampah Daerah. Solusi Nyata untuk Lingkungan Berkelanjutan.



Pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dalam menangani krisis sampah nasional. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq secara resmi mengumumkan penghentian total praktik pengelolaan sampah dengan sistem open dumping atau pembuangan sampah terbuka di seluruh wilayah Indonesia, mulai Jumat (12/4).

Penghentian open dumping bukan hanya langkah teknis, tapi juga simbol komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pemerintah mendorong semua pihak, mulai dari pemerintah daerah hingga masyarakat, untuk mendukung transisi menuju sistem pengelolaan sampah yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga juga menguatkan hal ini dengan mengatur metode pengelolaan akhir sampah yang lebih baik, seperti metode lahan urug terkendali (controlled landfill), metode lahan urug saniter (sanitary landfill), dan/atau teknologi ramah lingkungan. Transisi dari sistem pengelolaan sampah terbuka (open dumping) ke metode yang lebih ramah lingkungan menghadapi sejumlah tantangan kompleks. Tantangan utama terletak pada pembiayaan, ketersediaan tenaga ahli, dan resistensi masyarakat. 

Disisi lain yang tidak kalah penting bahwa TPA merupakan sumber penghidupan bagi ribuan orang yaitu pemulung dan pengepul yang merupakan masyarakat dengan ekonomi lemah atau bahkan tidak memiliki akses ke pekerjaan atau peluang ekonomi lain. Menutup TPA begitu saja adalah melenyapkan mata pencaharian mereka. 

Pengelolaan sampah masih menjadi tantangan besar di banyak daerah di Indonesia. Volume sampah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi. Sayangnya, sistem pengelolaan sampah formal sering kali tidak mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara efektif. Di sinilah peran pemulung sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah informal menjadi sangat penting.

Meski sering dipandang sebelah mata, pemulung sebenarnya memegang peran vital dalam proses daur ulang dan pengurangan sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, strategi untuk memaksimalkan kontribusi pemulung harus menjadi bagian dari kebijakan pengelolaan sampah daerah yang inklusif dan berkelanjutan.

 

Mengapa Pemulung Penting?

1. Kontribusi Langsung pada Pengurangan Sampah TPA

Pemulung memilah dan mengumpulkan sampah bernilai ekonomi (plastik, kertas, logam, dll), sehingga volume sampah yang dikirim ke TPA berkurang.

2. Efisiensi dalam Daur Ulang

Mereka merupakan mata rantai pertama dalam proses daur ulang yang berlangsung secara alami tanpa biaya tinggi dari pemerintah.

3. Peluang Peningkatan Ekonomi Lokal

Aktivitas pemulung bisa dikembangkan menjadi lapangan kerja berbasis ekonomi sirkular yang ramah lingkungan.

 

Strategi Memaksimalkan Peran Pemulung

1. Pengakuan Formal dan Pemberdayaan

Pemerintah daerah perlu membuat program pendataan dan registrasi pemulung sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah. Dengan memberikan kartu identitas resmi atau seragam untuk meningkatkan pengakuan sosial serta memudahkan koordinasi. Pemulung juga dapat disertakan dalam program seperti bank sampah, TPS 3R, dan proyek-proyek kebersihan lingkungan.

2. Pelatihan dan Edukasi Berkelanjutan

Pelatihan pemilahan sampah yang efisien dan bernilai tinggi. Salah satu fokus utama pada jenis sampah yang paling dicari oleh industri daur ulang.

Edukasi tentang kesehatan dan keselamatan kerja kepada pemulung. Dengan menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, sepatu, dan masker,dll.

Peningkatan kapasitas ekonomi dengan menambah wawasan tentang nilai ekonomi sampah. Misalnya bagaimana menjual sampah anorganik secara langsung ke pengepul besar atau lewat aplikasi. Yang juga penting dengan mengajarkan manajemen keuangan sederhana, pemasaran, dan kerja sama koperasi.

3. Integrasi Teknologi dan Inovasi

Libatkan pemulung dalam platform digital seperti Gringgo, Octopus, atau aplikasi lokal untuk pengumpulan sampah.

Gunakan sistem pelaporan digital untuk mencatat aktivitas dan volume sampah yang dikumpulkan oleh pemulung.

4. Kolaborasi dengan Komunitas dan Lembaga Sosial

Bentuk kelompok atau koperasi pemulung agar mereka memiliki daya tawar dan akses ke fasilitas bersama.

LSM, perguruan tinggi, dan CSR perusahaan dapat membantu dalam fasilitasi pelatihan dan pendanaan alat kerja.

5. Insentif dan Dukungan Fasilitas

Pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi pemulung yang berprestasi, seperti pemberian bonus dari bank sampah, penghargaan tingkat RT/RW dan pemberian akses prioritas ke layanan kesehatan gratis.

Menyediakan alat kerja layak seperti gerobak dorong, sepeda motor roda tiga, dan tempat cuci tangan di TPS.

Membangun Kesadaran Masyarakat

Masyarakat perlu diedukasi agar memahami pentingnya memilah sampah dari rumah. Dengan begitu, pemulung bisa bekerja lebih efektif dan tidak harus mengais dari tempat sampah campur. Edukasi ini bisa dilakukan lewat kampanye rutin di sekolah dan RT/RW,  sosialisasi melalui media sosial dan banner di fasilitas umum, kegiatan kolaboratif seperti clean-up day bersama pemulung dan warga.


Pemulung bukanlah beban, melainkan bagian penting dari solusi pengelolaan sampah. Dengan pendekatan yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis pemberdayaan, pemulung dapat diintegrasikan ke dalam sistem pengelolaan sampah yang lebih modern, efisien, dan berkelanjutan. Pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan sistem ini.


Mengangkat martabat pemulung bukan hanya tindakan sosial, tetapi juga langkah strategis menuju lingkungan yang lebih bersih dan ekonomi yang lebih inklusif. (H.A.S)

"Bantu blog ini tetap berjalan! Klik tombol Trakteer di bawah untuk memberikan dukungan dan membuat konten-konten inspiratif tetap hadir."

0 Komentar