Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat dipilih untuk menjadi corong suara rakyat untuk mewakili aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat dalam bentuk kebijakan dan regulasi. Namun, apa jadinya jika regulasi yang dihasilkan justru jauh dari kebutuhan rakyat? Ketika suara rakyat tidak lagi didengarkan? Apakah kemudian lembaga yang menaungi para wakil rakyat ini harus dibubarkan?
Tentu tidak sesederhana itu.
Lembaga seperti DPR dibentuk bukan tanpa alasan. Ia adalah
bagian dari sistem keseimbangan kekuasaan dalam negara yang dikenal dengan
prinsip trias politika pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Masing-masing memiliki fungsi dan perannya sendiri dalam menjaga
agar kekuasaan tidak terpusat dan tetap berjalan dalam rel yang benar.
Namun, ketika fungsi legislatif yang seharusnya mewakili
rakyat justru berjarak dari rakyat, maka di sanalah kita harus berkaca. Bukan
hanya mencermati kinerja para wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen, tetapi
juga menilai bagaimana mereka bisa sampai di sana.
Apakah para wakil rakyat benar-benar dipilih dengan
bijaksana dan penuh pertimbangan, atau justru produk dari apatisme dan sikap
transaksional pemilih itu sendiri?
Sayangnya, fenomena politik transaksional seperti istilah
“NPWP: Nomor Piro, Wani Piro” (berapa nomornya, berani bayar berapa) sudah
bukan rahasia lagi. Ketika suara rakyat dihargai dengan uang tunai, maka jangan
heran jika hasil yang kita petik adalah lima tahun kekecewaan. Bahkan lebih
menyedihkan, dampaknya bisa berlangsung jauh lebih lama daripada masa jabatan
itu sendiri, mempengaruhi kehidupan generasi yang belum tentu ikut memilih.
Inilah saatnya untuk berbenah, bukan hanya menuntut
perubahan dari mereka yang berada di atas, tetapi juga mengajak kita
semua masyarakat biasa, anak muda, para pemilih pemulauntuk mengubah cara
pandang kita terhadap demokrasi.
Demokrasi bukan hanya soal datang ke bilik suara lima tahun
sekali. Ini soal tanggung jawab, kesadaran, dan harapan jangka panjang. Kita
tidak sedang memilih idola, melainkan orang yang akan menyusun masa depan
negeri ini lewat kebijakan. Kalau kita sembrono dalam memilih, kita juga harus
siap menanggung akibatnya.
Maka dari itu, mari koreksi diri. Jangan apatis. Jangan asal
pilih. Jangan tergiur uang sesaat dan abaikan masa depan. Pemilu bukan ajang
tawar-menawar, tapi panggung untuk menunjukkan kedewasaan kita sebagai warga
negara.
Dan untuk para pemuda kalian adalah kunci perubahan. Jangan
hanya sibuk mengeluh di media sosial, tapi jadilah bagian dari gerakan sadar
politik. Belajarlah, kritislah, bersuara, dan kelak ambil peran bukan hanya
sebagai pemilih yang cerdas, tapi juga mungkin sebagai pemimpin yang amanah.
0 Komentar